Siapa yang tidak menginginkan pasangan hidup yang dapat menjadi teman dalam suka dan duka.
Bersama dengannya untuk membangun rumah tangga yang bahagia, hingga menapaki usia senja, bahkan menjadi pasangan di akhirat kelak.
Tentu saja kita tidak ingin mahligai rumah tangga yang sudah dibangun dan berjalan sekian tahun bersama pasangan yang menjadi pilihan kita kandas di tengah perjalanan yang berujung kepada perceraian.
Tentu saja hal itu akan akan sangat menyakitkan, menimbulkan luka mendalam yang mungkin sangat sulit disembuhkan. Baik luka bagi pasangan maupun bagi buah hati yang mungkin sudah ada.
Karena itu dalam menentukan kriteria calon pasangan, maka Islam memberikan dua hal. Pertama, sisi yang terkait dengan agama, nasab, harta maupun kecantikan. Kedua, terkait dengan ‘keinginan’ pribadi, seperti masalah suku, status sosial, corak pemikiran, kepribadian, serta hal-hal yang terkait dengan masalah fisik termasuk masalah kesehatan dan seterusnya.
Pertama, adalah hal yang terkait dengan standar umum. Yaitu agama, keturunan, harta dan kecantikan. Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena agamanya, nasabnya, hartanya dan kecantikannya. Maka perhatikanlah agamanya agar kamu selamat”. (HR Bukhari dan Muslim)
Untuk masalah agama, Rasulullah SAW memberikan penekanan lebih, agar memilih wanita (pasangan) yang sisi keagamaannya sudah matang/baik. Tentu saja yang dimaksud dengan sisi keagamaan bukan berhenti pada luasnya pemahaman agama atau fikrah saja, tetapi juga mencakup sisi kerohaniannya (ruhiyah) yang idealnya adalah tipe seorang yang punya hubungan kuat dengan Allah SWT.
Antara lain: aqidahnya kuat, ibadahnya rajin, akhlaknya mulia, menjaga kohormatan dirinya, fasih membaca AlQuran, ilmu pengetahuan agamanya mendalam, berbakti kepada orang tuanya serta rukun dengan saudaranya, pandai menjaga lisannya, pandai mengatur waktunya serta selalu menjaga amanah yang diberikan kepadanya, selalu menjaga diri dari dosa-dosa meskipun kecil, dan lainnya.
Selanjutnya, dari sisi nasab atau keturunan, merupakan anjuran bagi seorang muslim untuk memilih pasangan (wanita/pria) yang berasal dari keluarga yang taat beragama, baik status sosialnya dan terpandang di tengah masyarakat.
Dengan mendapatkan pasangan dari nasab yang baik itu, diharapkan nantinya akan lahir keturunan yang baik pula. Sebab mendapatkan keturunan yang baik itu memang bagian dari perintah agama, seperti yang Allah SWT firmankan di dalam AlQuran.
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar”. (QS An Nisaa’: 9)
Pertimbangan untuk memilih pasangan dari keturunan yang baik ini bukan berarti menjatuhkan vonis untuk ‘mengharamkan’ menikah dengan pasangan yang kebetulan keluarganya kurang baik. Sebab bukan hal yang mustahil bahwa sebuah keluarga akan kembali ke jalan Islam yang terang dan baik.
Kedua, yang terkait dengan selera subjektif seseorang terhadap calon pasanan hidupnya. Hal ini bukan termasuk hal yang wajib diperhatikan, namun Islam memberikan hak kepada seseorang untuk memilih pasangan hidup berdasarkan subjektifitas, ‘keinginan’ setiap individu maupun keluarga dan lingkungannya.
Bisa jadi walaupun dari sisi yang pertama tadi sudah dianggap cukup, tidak berarti dari sisi yang kedua bisa langsung sesuai. Sebab masalah selera subjektif adalah hal yang tidak bisa disepelekan begitu saja. Karena terkait dengan hak setiap individu dan hubungannya dengan orang lain.
Apalagi ada kecenderungan dasar yang ada di tiap masyarakat untuk menikah dengan orang yang sama sukunya atau sama rasnya. Dan Islam bisa menerima kecenderungan ini, meskipun juga tidak menghidup-hidupkannya.
Sebab bila sebuah rumah tangga didirikan dari dua orang yang berangkat dari latar belakang budaya yang berbeda, meski masih seagama, tetap saja akan timbul hal-hal yang secara watak dan karakter sulit dihilangkan.
Keinginan seseorang untuk mendapatkan pasangan yang punya karakter dan sifat tertentu, juga punya pengaruh yang signifikan. Ini merupakan keinginan yang wajar dan patut dihargai.
Misalnya ada seorang wanita menginginkan punya suami yang keren, lembut atau yang macho. Dan ini merupakan bagian dari selera seseorang. Atau juga sebaliknya, seorang laki-laki menginginkan punya istri yang bertipe wanita pekerja, berkemauan keras atau yang tipe ibu rumah tangga.
Ini juga merupakan selera masing-masing orang yang menjadi haknya dalam memilih. Islam memberikan hak ini sepenuhnya dan dalam batas yang wajar dan manusiawi memang merupakan sebuah realitas yang tidak terhindarkan. Wallahua’lam
Bersama dengannya untuk membangun rumah tangga yang bahagia, hingga menapaki usia senja, bahkan menjadi pasangan di akhirat kelak.
Tentu saja kita tidak ingin mahligai rumah tangga yang sudah dibangun dan berjalan sekian tahun bersama pasangan yang menjadi pilihan kita kandas di tengah perjalanan yang berujung kepada perceraian.
Tentu saja hal itu akan akan sangat menyakitkan, menimbulkan luka mendalam yang mungkin sangat sulit disembuhkan. Baik luka bagi pasangan maupun bagi buah hati yang mungkin sudah ada.
Karena itu dalam menentukan kriteria calon pasangan, maka Islam memberikan dua hal. Pertama, sisi yang terkait dengan agama, nasab, harta maupun kecantikan. Kedua, terkait dengan ‘keinginan’ pribadi, seperti masalah suku, status sosial, corak pemikiran, kepribadian, serta hal-hal yang terkait dengan masalah fisik termasuk masalah kesehatan dan seterusnya.
Pertama, adalah hal yang terkait dengan standar umum. Yaitu agama, keturunan, harta dan kecantikan. Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena agamanya, nasabnya, hartanya dan kecantikannya. Maka perhatikanlah agamanya agar kamu selamat”. (HR Bukhari dan Muslim)
Untuk masalah agama, Rasulullah SAW memberikan penekanan lebih, agar memilih wanita (pasangan) yang sisi keagamaannya sudah matang/baik. Tentu saja yang dimaksud dengan sisi keagamaan bukan berhenti pada luasnya pemahaman agama atau fikrah saja, tetapi juga mencakup sisi kerohaniannya (ruhiyah) yang idealnya adalah tipe seorang yang punya hubungan kuat dengan Allah SWT.
Antara lain: aqidahnya kuat, ibadahnya rajin, akhlaknya mulia, menjaga kohormatan dirinya, fasih membaca AlQuran, ilmu pengetahuan agamanya mendalam, berbakti kepada orang tuanya serta rukun dengan saudaranya, pandai menjaga lisannya, pandai mengatur waktunya serta selalu menjaga amanah yang diberikan kepadanya, selalu menjaga diri dari dosa-dosa meskipun kecil, dan lainnya.
Selanjutnya, dari sisi nasab atau keturunan, merupakan anjuran bagi seorang muslim untuk memilih pasangan (wanita/pria) yang berasal dari keluarga yang taat beragama, baik status sosialnya dan terpandang di tengah masyarakat.
Dengan mendapatkan pasangan dari nasab yang baik itu, diharapkan nantinya akan lahir keturunan yang baik pula. Sebab mendapatkan keturunan yang baik itu memang bagian dari perintah agama, seperti yang Allah SWT firmankan di dalam AlQuran.
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar”. (QS An Nisaa’: 9)
Pertimbangan untuk memilih pasangan dari keturunan yang baik ini bukan berarti menjatuhkan vonis untuk ‘mengharamkan’ menikah dengan pasangan yang kebetulan keluarganya kurang baik. Sebab bukan hal yang mustahil bahwa sebuah keluarga akan kembali ke jalan Islam yang terang dan baik.
Kedua, yang terkait dengan selera subjektif seseorang terhadap calon pasanan hidupnya. Hal ini bukan termasuk hal yang wajib diperhatikan, namun Islam memberikan hak kepada seseorang untuk memilih pasangan hidup berdasarkan subjektifitas, ‘keinginan’ setiap individu maupun keluarga dan lingkungannya.
Bisa jadi walaupun dari sisi yang pertama tadi sudah dianggap cukup, tidak berarti dari sisi yang kedua bisa langsung sesuai. Sebab masalah selera subjektif adalah hal yang tidak bisa disepelekan begitu saja. Karena terkait dengan hak setiap individu dan hubungannya dengan orang lain.
Apalagi ada kecenderungan dasar yang ada di tiap masyarakat untuk menikah dengan orang yang sama sukunya atau sama rasnya. Dan Islam bisa menerima kecenderungan ini, meskipun juga tidak menghidup-hidupkannya.
Sebab bila sebuah rumah tangga didirikan dari dua orang yang berangkat dari latar belakang budaya yang berbeda, meski masih seagama, tetap saja akan timbul hal-hal yang secara watak dan karakter sulit dihilangkan.
Keinginan seseorang untuk mendapatkan pasangan yang punya karakter dan sifat tertentu, juga punya pengaruh yang signifikan. Ini merupakan keinginan yang wajar dan patut dihargai.
Misalnya ada seorang wanita menginginkan punya suami yang keren, lembut atau yang macho. Dan ini merupakan bagian dari selera seseorang. Atau juga sebaliknya, seorang laki-laki menginginkan punya istri yang bertipe wanita pekerja, berkemauan keras atau yang tipe ibu rumah tangga.
Ini juga merupakan selera masing-masing orang yang menjadi haknya dalam memilih. Islam memberikan hak ini sepenuhnya dan dalam batas yang wajar dan manusiawi memang merupakan sebuah realitas yang tidak terhindarkan. Wallahua’lam
0 Komentar